Senin, 06 Oktober 2014

Teruntuk Segalanya, Terima Kasih

Selamat siang, Kamu.
Menjalani bulan ketiga perpisahan kita. Semua masih terasa sama saja. Tak banyak yang berbeda.
Begitu pula dengan rasa. Cinta yg kamu titip masih ada. Sengaja kusimpan rapi didalam sana.

Aku ingin kamu tahu, bahwa saja aku telah mencoba mengubur dalam-dalam semua rasa yang kamu titip, semua tulisan yang terkutip, dan segala rindu yang selalu mengintip. Aku pernah dan kini aku lelah.

Aku menyerah...

Kini biarkan aku mencintaimu dalam segala bungkam. Menganggap genggam yang sudah melenggang masih bisa kupegang. Menganggap perpisahan ini adalah jalan yang memang tuhan pilihkan sebelum akhirnya bersama lagi, jatuh cinta lagi dan tentu berbahagia lagi.

Ini takkan terasa menyiksa jika saja saat aku merindukanmu aku bisa bersamamu. Namun yang tuhan takdirkan adalah aku yang harus mati-matian meredam rengekan rindu. Ingin menatap sekejap saja, agar rindu berhenti bersuara.

Kamu mampu mengangkatku dari kubangan masalalu yang bertahun-tahun mengubur kebahagianku, memegang tanganku dan mengantarku kedalam kubangan luka baru.

Pertemuan yang singkat tak berarti aku mampu melupakanmu cepat. Segala kebahagiaan yang ada dulu sudah terlanjur terlalu lekat.
Sesal tak sekalipun mampir dalam pikiran. Menjadikanmu berarti adalah jalan yang ku pilih. Hingga saat kamu pergi aku hanya bisa mengeluh lirih sendiri.


Kamu pernah datang dan memberi begitu banyak perhatian. Walau kini semua itu yg membuat aku kesakitan.

Kamu pernah hadir utk sekedar menyemangati, saat tegang seperti ujian mampu kulewati dengan nilai bagus kudapati.

Kamu pernah dengan sepenuh hati menemani, mengantarku ketempat dimana aku harus menyelesaikan segala soal yg menanti.

Kamu pernah jadi alasanku utk tersenyum, saat getir sekalipun.

Kamu pernah dan kini semua itu punah.

Adakah perasaan yang seperti ini pernah hadir dalam hidupmu? Perasaan yang hadir kala aku melewati segala tempat yang dulu kita pernah berhenti utk sekedar berbagi ataupun bersembunyi dari rintik hujan yang sengaja menjahili?

Adakah kamu juga berlirih "aku merindukanmu." "apa kamu ingat?" yang sama seperti yg aku ucapkan saat berada ditempat kita dulu?

Saat ini aku memang sibuk mengobati luka, sedang yang tercinta dengan ketus membuang muka.
Kamu tak peduli tentang tangis dalam tulisanku, bukan?

Lebih dari sakit saat tangan teriris membaca posting disalahsatu social mediamu yang berkata "Siapa yang peduli?"
memang tidak ada yang peduli dengan segala kesakitan ini. Tidak kamu. Tidak juga mereka. Ya memang tidak ada yg ingin menyisihkan waktu untuk mempedulikan.

Andai kamu tahu rasanya. Bukan main bengisnya kamu sekarang. Membaca yg seperti itu seperti menusukkan diri pada pedang tertajam. Jika kamu tak mampu mengobati, tolong jangan buat luka semakin berarti lagi.

Aku iri dengan yang bisa bersamamu disetiap hari.

Aku iri dengan cangkir yang kau kecup setiap hari.

Aku iri dengan selimut yang mampu menghangatkanmu dalam tiap dingin.

Teruntuk segala perhatian yang sempat kamu beri, segala semangat yang menyemangati, segala senyum yang kamu toreh, segala luka yang mendewasakan, aku berterima kasih.



Dari perempuan yang selalu mengirim rindu utk berbisik pada telingamu "Aku mencintaimu..."

Lirik yang melirih

"Meski raga ini tak lagi milikmu, namun didalam hatiku sungguh engkau hidup... Entah sampai kapan, kutahankan rasa cinta ini..."

Dibait lagu ini air mata seakan tak tertahankan lagi. Sedari awal memutar lagu ini yang terbayangkan jelas hanya satu nama. Nama yang tak pernah lupa utk diingat.
Aku tak tahu bagaimana si pencipta lagu sendu ini bisa menulis yang se-menyentuh hati. Mungkin dulu dia sama seperti aku. Alasanku masihlah sama. Aku memutar lagu ini, jelas aku merindukanmu. Berharap kamu bisa mendengarnya untuk mengerti.


"Jauh dilubuk hatiku. Masih terukir namamu. Jauh didasar jiwaku, engkau masih kekasihku..."


Ya kamu masih kekasihku. Tak peduli berapa mulut yang berkata tolol padaku. Bagiku kau masih kekasihku. Untuk mereka kekasih itu adalah orang yang mencintai mereka dengan dekat dalam dekap. Mereka lupa jika aku berbeda dengan mereka.

Kusebut kau kekasih karna memang kamu ku kasihi. Sepenuh hati. Setengah mati. Aku menyayangi diri yang kini sibuk sendiri.
Aku takpeduli jika kamu tak mencintai. Aku tahu, tak selamanya cinta akan berbalas. Kadang ia bisa diabai dengan begitu jelas.

Katakan, saat ini bagaimana bisa membuka hati untuk orang baru sementara disana ada kenang yang mencekatku. Terlalu takut hingga luka tak berlarut.

Dalam tiap sinar bintang yang merintik aku memanggilmu.

Dalam tiap hembus angin yang berdesir aku kirimkan hangat doaku.

Dalam tiap tetes bening air mata yang tertahan, aku masih mencintaimu.

Ku teruskan senandungku teruntuk kamu. Kini lewat lagu baru namun masih dengan isi yang tentangmu. Sanubari seakan menjerit kala bibir melantunkan tiap bait yang seakan mencabik.

".... And hope that you find the missing piece to bring you back to me. Why? Don't you remember... Don't you remember the reason you loved me before...."

Tuan, Tidakkah kamu ingat?

Pelukan Kelukaan

Segala takut ini bukan yang aku ingin sejak awal. Menyesal mengapa kalbu yang dulu berbalut lembut kini melebam nan membiru. Dia berhasil menamparnya kasar. Menyudutkannya pada satu jurang pelukaan.
Hembus angin berbisik, "Berjalanlah, diujung jalan sana yang kau sebut bahagia telah menantimu dengan tangan terbuka..."
Sungguh, percayalah. Aku bahkan akan berlari jika aku bisa. Kenapa memilih berjalan jika dengan berlari aku bisa cepat merebah dalam pelukan?
Tapi kenyataan seringkali membungkam segala khayalan. Bagaimana mampu berlari pabila aku masih tertimpa luka?
Mengertikah kamu sekarang?
Saat ini kepercayaanlah yang mampu mengusir segala himpit pelukaan.
Saat ini uluran tangan hati yang akan akan membawa hati kedalam kesembuhan.
Saat ini luka hanya akan sekedar luka jika kamu berhasil menyembuhkan.
Tuan, butuh waktu utk merapihkan luka. Yang kelak mampu ku tinggal ia dipersimpangan dan melanjutkan cinta.
Mengertilah sedikit tentang aku yang masih berbalut luka. Agar kelak segala kesakitan tak kau tambah dengan penyalahan.
Terucap segala maaf yang lirih dikatakan hati. Jika kamu terlukai, ia menyesal membuat mu menjatuhkan hati.

Kutuliskan lagi, Sepi

Aku kembali menggoreskan apa-apa yang dirasa hati&apa-apa yang terjadi pada diri.
Aku mengira-ngira apa yang kini sedang terjadi. Mengapa harus sesepi ini yang ku alami.

Aku seperti membangun hidup ku lagi. Dimana hanya ada aku sendiri, dengan langit yang hanya bisa mengamati.
Dunia bagiku kini terasa begitu mati.

Tak sadar begitu panjang jalur hidup yang tlah kulalui, dan begitu banyak kuinjak duri. Pada akhirnya kusadari ada yang sangat tersakiti; ia adalah hati.

Aku iri pada yang selalu mempunyai bahu yang setia untuk disandari. Aku cemburu pada yang selalu memiliki peluk yang kapan saja ada untuk didekapi.

Tuhan sungguh, bukan aku tak mensyukuri sujud yang masih kupunyai. Namun, kadang kala aku butuh dekap utk sekedar berbagi.

Kubilang duniaku telah mati, kala mereka-mereka yang ku kira karib kini sibuk pergi terlebih mengkianati.
Sebagian asyik menikmati sendiri sebagian sengaja meninggalkan aku dibelakang sendiri.

Tuhan kini hanya engkau satu-satunya yang paling setia menemani.

Kini eratkan lagi dekapmu pada tubuh lemahku tuhan. Aku yakin engkau akan selalu dengan setiap mengusap tiap tetes yang membasahi pipi.

Ku relakan mereka yang telah jauh pergi.


Selesai kutulis rapih segala jerit kesepian. Merangkainya dengan huruf-huruf yang ku titipkan lirih dalam tiap barisan.

Sama

Malam ini, aku terduduk karena satu rasa yang telah menabrak ingatan dan jiwa.
Dalam sanubari, terlalu banyak hati yang bertanya.

Adakah saat ini kita tengah memandangi langit yang sama, tersenyum kaena menatap bulan yang sama, dan merasa hangat karena disinari oleh cahaya yang sama.
Aku tahu, malam ini tidak ada bintang diangkasa. Namun cahaya bulan saja telah mencukupi kehangatan kita.
Hm, mengapa tidak kita saja yang menjadi bintang diatas sana?
Yang mampu menyinari&memberi indah karena cinta yang kita punya. Hehe... Berbulan-bulan setelah kepergianmu aku masih saja sama ya? Masih seperti dulu yang selalu berandai-andai dengan gila.

Kuketik dengan penuh harap segala yang kudengar kala rinduku berbicara. Direlungku paling dalam, banyak menyimpan tanya.

Mungkinkah kini kamu merasakan yang sama?
Mungkinkah kini kamu dirundung rindu yang sama?
Mungkinkah kamu terdiam karena satu sebab yang juga sama?

Dan mungkinkah kamu melakukan yang juga kulakukan kala ingatan kita yang lalu mulai melanda?

Aku mencoba mencatatnya dalam catatan disocial media, sedang kamu mencatatnya dalam buku yang waktu itu kita beli berdua. Iya, kita beli berdua. Aku harap kamu masih mengingatnya.
Hm. Adakah satu saja tentangku yang kamu tulis disana? Atau sekedar kamu mengingatku saja saat buku itu kau buka.

Perlu kau tau, ka.

Aku masih berdoa teruntuk satu bahagia yang sama.

Suatu hari kita akan terbangun pada malam, detik dan sebab yang sama.
Tangisan mungil dari putri kecil kita.

Kamu, Kesembuhanku

Perempuan ini menatap jauh dari balik jendela. Mata seolah berharap mampu menangkap satu sosok yang paling ditunggu jiwa. Dulu, ku sebut laki-lakiku. Kini, kata mantan terselip didepan kata itu.
Sebenarnya aku tahu, tak akan ku dapati yang aku cari. Tapi hati memaksa untuk tidak berhenti. Sedang logika menyuruhnya tak mendengarkan hati. Jika begini, hanya dia yang mampu menengahi logika dan hati yang berkelahi.

 

Bukan tidak mungkin, mendung yang aku rasa berganti cerah tak terhingga kala aku lihat yang aku harapkan dari balik jendela berjalan menemuiku.
Harapan tinggal harapan. Tidak akan jadi kenyataan.

Kamu patut tahu, kehadiranmu mampu menyamai sebuah obat yang menyembuhkan. Jadi, jika kamu disampingku aku sepertinya perlu menolak suster yang datang membawa obat-obatan.
 

Bersamamupun, rebah dalam kamar penyembuhan ini tak akan terasa bosan. Karena aku tahu, kamu takkan membiarkan aku lepas dari genggaman.
Teruntukmu yang masih kurindukan. Aku sakit, merindukan.

Tadinya

Tadinya, aku bersikeras ingin memperjuangkan. Tadinya aku berubah menjadi sikeras kepala yang selalu ingin bertahan. Hingga akhirnya aku tersadar oleh sebuah tulisan. Untuk apa bertahan atas apa-apa yang sudah tak lagi ada ditangan?
Kini aku sudah berdiri lagi, berusaha menahan hati untuk segera berhenti mencintai namun tidak sampai membenci.
Senja menyadarkanku kala itu "ia sudah bukan milikmu lagi. Untuk apa berlelah hingga begini?" iya, untuk apa aku seperti ini.



Aku lalu meminta maaf pada diri sendiri. Membiarkannya berlama berkubang dalam kenangan yang telah jauh berlari.

Kini aku sudah mengosongkan hati, hingga siap untuk ditempati. Kubuka pintu ini agar yang benar mencintai mampu bersemayam disedalam-dalamnya sanubari.

Kini aku ingin menikmati hidupku dulu, baru mencari yang baru.

Aku ingin memperbaiki yang salah dari diriku, agar yang baru nyaman berlama dengan diriku.

Aku ingin mempercantik akhlakku, agar yang baru tak kalah sholeh dengan yang lalu.

Aku telah mengikat tali sepatu, kini aku siap melangkah untuk hidup yang baru. Selamat tinggal, sendu.

Yang Paling Bahagia

"Apa yang membuatmu merasa jadi yang paling beruntung dan bahagia?"

Minggu pagi. Kita sengaja bermalas diatas tempat tidur hari ini. Kau bilang ingin ditemani. Aku ingin menjadi penurut, jadi ku-iyakan inginmu yg satu ini. . Kau memanggilku dengan manis lalu mengajukan pertanyaan seperti itu. Aku tersenyum. Ku dekatkan lagi tubuhku padamu.

"Sayang, aku merasa paling beruntung kala aku mampu mengawali harimu dengan kecupku didahimu. Seperti ini" lalu aku mengecup dahinya. Ia tertawa kecil. Kuteruskan lagi jawabanku.

"membuatkanmu secangkir kopi tiap pagi. Mencium tanganmu yang kau balas dengan kecupan kecil didahiku saat kau ingin berangkat kekantor. Ah, sudahlah. Aku sudah yang paling bahagia, sayang.

Ia tersenyum lagi, manis sekali. Kali ini ia tak sekedar tersenyum ia memelukku lebih erat lagi.

"O, satu lagi. Bisa menyediakanmu menu-menu favoritmu tiap hari. Pagi siang bahkan malam hari. Aku tahu laki-laki yang satu ini perutnya mudah sekali lapar lagi" kini aku yang tertawa. Meledeknya dengan mengusap-usap perutnya.

"Lalu, apa yang membuatmu bahagia? Aku balik bertanya.

"Sederhana saja, kamu."

"aku?"
"ya, kamu. Apa saja yang kulakukan asal bersamamu, itulah bahagiaku"

Aku terenyuh dalam perkataannya. Aku bahagia memilikinya. Dulu bukankah aku pernah berdoa, tuhan? Kubilang aku ingin sekali ia menjadi imam dalam tiap shalatku, kan? Terimakasih tuhan, karna kini engkau telah mengabulkan.
Hingga kini aku sudah yang paling bahagia saat ini, tuhan.

Lewat dia, hidupku telah engkau sempurnakan. Dengan dia, apa-apa yang kubutuh dalam hidup telah engkau cukupkan.

Ciptaanmu yang satu itu tuhan, adalah yang paling sejatinya kebahaagiaan.

Dua Tahun

Saat ini kamu dihadapanku. Merunduk entah karena rasa bersalahmu atau bahkan rasa malu. Kulihat sebutir airmata jatuh dari pelupukmu, yang lalu dengan segera kau seka dengan jemarimu. Mungkin kamu tak ingin terlihat semakin lemah dihadapanku. Bukan main, masih saja kamu berpegang erat pada egomu.
Sejujurnya, saat ini bukan kamu saja yang runtuh. Aku yang berdiri dihadapmupun rasanya sudah hampir ambruk. Aku diserang dua rasa yang tiba-tiba menyergap hati dan otakku kala membuka pintu dan mendapatimu berdiri lesu.
 

Kamu tahu rasanya saat harus bertemu seseorang yang dengan telak menghancurkanmu? Namun kamu juga sangat merindukan orang itu.tak munafik, aku masih menyimpan sedikit cinta untukmu. Namun saat ini antara ingin memakimu dan ingin memelukmu. Aku ingin memaki karena kamu telah begitu saja meninggalkanku. Hey. Kemana saja dua tahun ini?! Seenaknya pergi lalu kini kembali lagi? Kamu pergi seperti dihidupmu tak pernah ada aku. Apa kamu tahu? Aku sudah seperti orang gila mencarimu. Menanyakan keberadaanmu.
Berbulan-bulan aku mencoba bangkit dan sendirian membangun hidupku lagi. Dan kini dengan sekali melihatmu berlutut pertahananku hancur. Aku harus apa? memaafkanmu? Atas yang telah kau lakukan padaku? Rasa sakitku kini sudah terlanjur lebih besar drpd cintaku. Kamu patut tahu.
 

Aku bergetar saat mencoba meraih pundakmu agar tak lagi berlutut padaku. Aku berkata lirih padamu. Aku memaafkanmu. Namun cinta sudah tak seperti dulu. Maaf untuk hati yang tak lagi mampu menerimamu. Aku sudah hampir sampai pada keberhasilanku melupakanmu. Kita sudah takmungkin lagi, walau kini dihadapanku tepat bersama airmatamu, kamu berjanji untuk tak lagi menyakiti.
Dua tahun, bukankah seharusnya kamu sudah terbiasa jika tanpa aku?