"berikan kejelasan atas hubungan ini yaAllah yatuhan, jangan biarkan
harapku semakin tinggi saja karena sesungguhnya terjatuh itu
menyakitkan"
perempuan ini menyempurnakan shalatnya dengan berdoa. Lalu kedua
tangannya mengusap lembut wajahnya seraya mengaminkan doa yang tadi ia
panjatkan.
Minggu malam ini ia habiskan seperti biasa. Duduk didepan tv, pandangannya kelayar namun pikirannya entah terbang kemana.
Laki-lakinya memang rajin sekali membuat fikirannya terbagi.
Getar handphonenya membuyarkan lamunannya. Ia tersenyum melihat nama si laki-laki muncul disana.
"sedang apa kamu?"
pesan sesingkat itu bisa menghadirkan senyumnya lagi.
Serasa tak ingin membuat laki-lakinya menunggu lama, ia dengan
cekatan membalas pesan itu. Senyumnya tertera indah diwajahnya. Senyum
manis itu pernah hilang. Ia berharap senyum itu masih bisa ia
kembangkan. Dan laki-lakinyalah yang ia harap bisa menjadi alasan atas
senyumnya itu.
Ia tengok lagi handphonenya yang menunjukan is writing a message.
Lama ia menunggu. Ponselnya berdering. Dengan sumringah ia buka pesan
itu.
"we are better to be friend..."
ia diam. Meyakinkan dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi. Hening sekali.
Namun sungguh hatinya tidak sehening itu. Hatinya meringis. Ini perih; teramat. Masih tak ia percayai apa yang ia baca.
"Maaf tidak bisa jadi apa yang kamu harapkan, sekarang kita bebas mencintai/dicintai oleh orang yang kita sayangi..."
hei bodoh! Kamulah orang satu-satunya yang ia sayangi.
Kamulah satu-satunya alasan ia untuk bersabar.
Kamulah satu-satunya yang ia harapkan. Untuk bisa hidup bahagia bersamamu kelak.
Sungguh, pesan seperti itu telah dengan bengis mengusir senyumnya. Ia kehilangan senyumnya; lagi.
Dihatinya berkecamuk segala kenangan dan pertanyaan.
"mengapa berakhir seperti ini tuhan? Kupikir besar sabar ku bisa
terbalas dengan bahagia bersamanya. Lalu ini apa? Kemana perginya ia
yang dulu? Ketidaknyamanan apa yang telah kuperbuat? Aku selalu mengerti
kesibukannya yang bahkan seperti perlahan menyingkirkan aku. Dimana
letak salahku? Memang selama ini aku menuntut apa darinya? Tidak ada.
Sungguh, apa salah jika aku hanya sekedar mengingatkan agar ia tak lupa
dengan makan siangnya? Agar ia tak terlalu sibuk hingga melupakan
tentang kesehatannya? Apa perhatianku terlalu berlebihan? Jika iya, lalu
apa arti kata-katanya yang manis dulu? Apa maksudnya memintaku menjadi
perempuannya? Apa tuhan?"
ia menangis, namun ia tak membiarkan airmata itu jatuh terlalu banyak. Ia seka airmatanya.
Ia kuatkan dirinya untuk membalas pesannya.
"baiklah :) "
lewat emoticon sesederhana titik dua dan tutup kurung ia seakan menunjukan pada laki-laki itu,
"lihat! Aku baik-baik saja. Pergilah! Sungguh aku baik saat ini. Aku tak terluka sedikitpun"
Inikah yang kau maksud dengan -insyaAllah datang tidak untuk menyakiti- yang pernah kau ucapkan dihadapanku?
Entah... Ini sangat berat. Sungguh tak terbayang sebelumnya. Samasekali tidak pernah.
Layar ponselnya kembali menyala karna pesan dari laki-laki itu lagi.
"aku akan selalu support kamu"
tidak perlu, sungguh kau cukup pergi saja. Tak usah datang lagi.
Terimakasih atas ini, ya. Luka dulu tak lebih sakit dari ini. Namun
tenanglah. Aku tak perlu dirimu untuk membantuku mengobatinya..
Ingatlah, saat kau sibuk menanyakan segala tentangku kepada temandekatku.
Ingatlah, saat kau pertama kali menjemputku.
Ingatlah, saat kita terjebak hujan, duduk berdua didalam bis, pergi berdua.
Ingatlah saat kau mengirimkanku -nanti aku satnight sama siapa kalau kamu disana?- ketika aku pergi keluar kota.
Ingatlah kata-katamu saat kau memintaku menjadi perempuanmu.
Sungguh aku ingin tau, samakah yang kau rasakan dengan yang kurasa?
Hatiku menjerit jika ingat itu semua. Indah, namun menyakitkan.
Kini berbahagialah dengan keputusanmu, dengan hidupmu, dan dengan kesibukanmu.
Kan kukubur dalam-dalam harapku yang ingin sekali menemani kehidupanmu kelak.
Saat ini, aku masih belum baik. Selamat malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar