Selamat siang, Kamu.
Menjalani bulan ketiga perpisahan kita. Semua masih terasa sama saja. Tak banyak yang berbeda.
Begitu pula dengan rasa. Cinta yg kamu titip masih ada. Sengaja kusimpan rapi didalam sana.
Aku ingin kamu tahu, bahwa saja aku telah mencoba mengubur
dalam-dalam semua rasa yang kamu titip, semua tulisan yang terkutip, dan
segala rindu yang selalu mengintip. Aku pernah dan kini aku lelah.
Aku menyerah...
Kini biarkan aku mencintaimu dalam segala bungkam. Menganggap
genggam yang sudah melenggang masih bisa kupegang. Menganggap perpisahan
ini adalah jalan yang memang tuhan pilihkan sebelum akhirnya bersama
lagi, jatuh cinta lagi dan tentu berbahagia lagi.
Ini takkan terasa menyiksa jika saja saat aku merindukanmu aku bisa
bersamamu. Namun yang tuhan takdirkan adalah aku yang harus mati-matian
meredam rengekan rindu. Ingin menatap sekejap saja, agar rindu berhenti
bersuara.
Kamu mampu mengangkatku dari kubangan masalalu yang bertahun-tahun
mengubur kebahagianku, memegang tanganku dan mengantarku kedalam
kubangan luka baru.
Pertemuan yang singkat tak berarti aku mampu melupakanmu cepat. Segala kebahagiaan yang ada dulu sudah terlanjur terlalu lekat.
Sesal tak sekalipun mampir dalam pikiran. Menjadikanmu berarti
adalah jalan yang ku pilih. Hingga saat kamu pergi aku hanya bisa
mengeluh lirih sendiri.
Kamu pernah datang dan memberi begitu banyak perhatian. Walau kini semua itu yg membuat aku kesakitan.
Kamu pernah hadir utk sekedar menyemangati, saat tegang seperti ujian mampu kulewati dengan nilai bagus kudapati.
Kamu pernah dengan sepenuh hati menemani, mengantarku ketempat dimana aku harus menyelesaikan segala soal yg menanti.
Kamu pernah jadi alasanku utk tersenyum, saat getir sekalipun.
Kamu pernah dan kini semua itu punah.
Adakah perasaan yang seperti ini pernah hadir dalam hidupmu?
Perasaan yang hadir kala aku melewati segala tempat yang dulu kita
pernah berhenti utk sekedar berbagi ataupun bersembunyi dari rintik
hujan yang sengaja menjahili?
Adakah kamu juga berlirih "aku merindukanmu." "apa kamu ingat?" yang sama seperti yg aku ucapkan saat berada ditempat kita dulu?
Saat ini aku memang sibuk mengobati luka, sedang yang tercinta dengan ketus membuang muka.
Kamu tak peduli tentang tangis dalam tulisanku, bukan?
Lebih dari sakit saat tangan teriris membaca posting disalahsatu social mediamu yang berkata "Siapa yang peduli?"
memang tidak ada yang peduli dengan segala kesakitan ini. Tidak
kamu. Tidak juga mereka. Ya memang tidak ada yg ingin menyisihkan waktu
untuk mempedulikan.
Andai kamu tahu rasanya. Bukan main bengisnya kamu sekarang. Membaca
yg seperti itu seperti menusukkan diri pada pedang tertajam. Jika kamu
tak mampu mengobati, tolong jangan buat luka semakin berarti lagi.
Aku iri dengan yang bisa bersamamu disetiap hari.
Aku iri dengan cangkir yang kau kecup setiap hari.
Aku iri dengan selimut yang mampu menghangatkanmu dalam tiap dingin.
Teruntuk segala perhatian yang sempat kamu beri, segala semangat
yang menyemangati, segala senyum yang kamu toreh, segala luka yang
mendewasakan, aku berterima kasih.
Dari perempuan yang selalu mengirim rindu utk berbisik pada telingamu "Aku mencintaimu..."
Keren tulisannya :)
BalasHapus